KIBLAT.NET – Tragedi yang menimpa Siyono, belum lama ini, begitu mengharu biru rasa kemanusiaan kita. Untuk yang kesekian kalinya, seorang anak manusia jadi tumbal kesewenang-wenangan kekuasaan yang dilakukan Densus 88. Korban atas nama Siyono menambah daftar panjang pejuang kebenaran yang kehilangan jiwanya.
Setelah kasus kematian Munir, Udin dan banyak nama lain yang tidak ada ujung penyelesaian keadilan. kematian yang menimpa Siyono pun terancam menemui hal serupa. Hal ini terlihat dari kesimpangsiuran dalam awal keterangan yang berbelit dari ‘tersangka’ pelaku penangkapan yang berujung pada kematiannya.
Apalagi atas nama kekuasaan dan legalisasi melakukan tindakan penangkapan dengan alasan untuk keamanan negara, tentu hal ini semakin memperkuat tindakan aparat secara impresif dan membabi buta.
Munir dan Udin, notabene seorang publik figur yang mempunyai dukungan publik secara kuat sedemikian rupa pun akhirnya menemui jalan buntu dan ketidakjelasan proses hukum. Walau begitu, sebenarnya masyarakat bisa meraba sendiri siapa pelaku dari kejahatan kejahatan hukum tersebut. Ketidakberdayaan, rasa pasrah dan narimo menjadi sikap dari keluarga. Masyarakat pun menerima sebagai kenyataan pahit yang harus dihadapi.
Siyono, sangat jauh berbeda. Dia hanya seorang pemuda dusun tidak mempunyai kekuatan relasi dan advokasi sebagaimana Udin yang seorang jurnalis. Instansi dimana dia bekerja, Rekan seperjuangan di media cetak mengawal sekuat tenaga hingga menjadi isyu nasional.
Siyono, hanyalah seorang imam Masjid Munirah, namanya membahana karena nasib yang dia alami begitu meluluh lantakkan rasa damai. Ternyata bahwa Indonesia bukan lagi negeri yang aman dan tenteram.
Gelombang protes para netizen dari berbagai kalangan diseluruh negeri membuktikan bahwa kejahatan dibungkus sebagus apapun tetap tercium. Mulai dari akademisi, ilmuwan hingga masyarakat luas mengecam keras tindakan brutal Densus 88 sebagai pelaku kejahatan hingga hilangnya jiwa Siyono.
Sebuah media lokal di Yogyakarta dalam tajuk rencananya menegaskan bahwa, “Kita mendorong agar kematian Siyono diungkap secara transparan alias tidak perlu ditutupi. Upaya membuka tabir kematian Siyono hendaknya tidak diartikan sebagai tindakan mendukung terorisme. Sama sekali tidak, melainkan untuk mengingatkan kepada aparat penegak hukum untuk tetap menghormati hukum dalam penanganan terorisme. (KR 15 Maret 2016)
Sementara di Jawa Timur, Korps Mubaligh Muhammadiyah Surabaya siap memberikan advokasi dan pendampingan kepada masyarakat Surabaya yang dizalimi oleh Densus 88.
Kematian Siyono, Sang Imam masjid yang digelandang aparat usai mengimami sholat Maghrib, mengingatkan kepada kita peristiwa sebelum meletusnya gerakan G30SPKI. Peristiwa pembantaian di Pondok Pesantren Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari 1965. Kala itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. sebanyak 127 peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu anggota PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung.
Kejadian kelam seperti ini tentu membuat para dai, ustadz maupun imam masjid dan jamaah masjid menjadi trauma ketika mereka sedang beribadah Masjid. Umat Islam kembali terciderai oleh ulah aparat.
Dalam keseharian, aktifitas dakwah Siyono dengan memberikan pengajaran kepada masyarakat di sekitarnya. Dengan kemampuannya memfasilitasi berdirinya pendidikan Islam bagi anak usia dini. Hal itu adalah rasa tanggungjawabnya membangun akidah umat dari gempuran akidah sesat yang terus berkembang akhir akhir ini.
Aliran sesat yang nyata nyata mengancam eksistensi negara macam Syiah terus berkembang tanpa tersentuh aparat Densus 88 sedikitpun. Kesesatan syiah dan gerak politiknya secara historis dan kekinian sudah menunjukkan gejala mengarah kepada pemecah belah bangsa.
Gugurnya Siyono, tidak akan menyurutkan perjuangan para penegak dienulIslam. Justru semangat semakin terlecut kepada para aktifis Islam untuk lebih cerdas dalam bertindak dan bersiap atas bahaya yang mengancamnya. Tidurnya umat dari ketidak pedulian terhadap agamanya menjadi tersadar atas kejamnya tindakan aparat yang mengancam dien ini pasca tragedi yang menimpa Siyono.
Hanya kepada Allahlah kita berharap atas segala tindakan kita di dunia dan di akherat.

Oleh: Nuzul Anthony, penulis tinggal di Yogyakarta.
Axact

Axact

Vestibulum bibendum felis sit amet dolor auctor molestie. In dignissim eget nibh id dapibus. Fusce et suscipit orci. Aliquam sit amet urna lorem. Duis eu imperdiet nunc, non imperdiet libero.

Post A Comment:

0 comments: