KIBLAT.NET — Kembali, nyawa warga negara Indonesia melayang di tangan aparat negaranya sendiri. Jumat lalu Siyono, pria 34 tahun asal Klaten, tiba-tiba dikabarkan tewas setelah tiga hari sebelumnya diculik Densus 88 di masjid sekitar rumahnya. Ayah tiga anak itu tengah zikir usai shalat Maghrib ketika sekawanan Densus 88 membawanya pergi tanpa pernah kembali.
Dua hari setelahnya, rumah Siyono yang juga difungsikan sebagai sekolah TK, disisir sekawanan pasukan burung hantu itu. Tak ayal, anak-anak TK berhamburan dan menangis ketakutan melihat sosok-sosok sangar berselempang senapan laras panjang. Parade kejumawaan itu berakhir setelah berhasil menemukan satu unit sepeda motor dan beberapa lembar kertas.
Kematian Siyono yang tengah berada di tangan polisi itu mengundang reaksi geram dan sesal publik. KH. Arifin Ilham sampai berucap istighfar dalam akun Facebooknya. Ia juga mengingatkan adanya Hari Pembalasan yang akan “menyelesaikan” semua kezaliman. Salah seorang pengurus PP Muhammadiyah, Mustafa Nahrawardaya menyindir tragedi ini pesta atas kucuran dana Rp. 1,9 triliun untuk Densus 88. Ia pun meminta Polri transparan membuka kasus ini dengan melakukan otopsi pada jenazah korban.
Alih-alih memberikan penjelasan yang jujur dan transparan, Mabes Polri melalui Karo Penmas Brigjen Agus Rianto memberikan alasan yang ganjil. Menurutnya, Siyono tewas akibat lemas dan lelah setelah sebelumnya mencoba melawan aparat yang mengelernya. Karuan saja penjelasan ini membuat anggota Komisi III DPR-RI Nasir Jamil keheranan dan tak habis pikir. Bagaimana mungkin seseorang yang diborgol dan dikawal ketat bisa melawan aparat yang jumlahnya berlipat dibanding korban. Apalagi, kuasa hukum keluarga Siyono menemukan bekas luka fisik pada jasad almarhum.
Belum hilang rasa heran dan bingung, muncul keterangan berbeda dari sama-sama pejabat Polri. Kadiv Humas Polri Brigjen Anton Charliyan belakangan mengakui kalau korban meninggal karena pendarahan di kepala bagian belakang. Penyebabnya benturan dengan salah satu sudut mobil saat mencoba melawan petugas Densus 88. Sayang, penjelasan ini belum mampu menjawab teka-teki mengapa ada luka di bagian tubuh lain dari korban.
Penyebab kematian Siyono yang masih terselubung misteri, tentu menimbulkan duka mendalam bagi kerabatnya. Apalagi, Siyono pergi sebelum terbukti secara hukum melakukan tindak pidana terorisme seperti yang disangkakan. Kita berharap kematian Siyono ini adalah episode terakhir dari rentetan panjang kejumawaan dan kesemena-menaan Densus 88. Saatnya, seluruh tindak-tanduk korps burung hantu itu harus bersifat akuntabel.
Baca juga: Komnas HAM Meminta Mayat Siyono Diautopsi
Kalau memang benar tak ada yang dilanggar dalam proses hukum terhadap Siyono, seharusnya polisi tak perlu memaksakan kepada keluarga untuk segera mengubur jenazah setibanya di rumah duka. Maka, otopsi jenazah menjadi solusi yang obyektif yang akan menyibak sejuta praduga dan teka-teki yang mengiringi kepergian Siyono ini. Meski solusi ini hanya untuk kematian Siyono saja, bukan untuk 118 korban lain—menurut catatan Komnas HAM— yang dibunuh Densus 88 tanpa proses hukum sebelumnya.
Pengungkapan kasus kematian Siyono ini menjadi tonggak penting bagi evaluasi kinerja Densus 88. Selama ini tindakan semena-mena terjadi tidak pernah bisa terjamah oleh hukum. Saat terjadi penangkapan dan korban tewas tertembak, hanya ada alasan klise: tersangka melawan dan membahayakan petugas. Tak pernah ada saksi atau bukti tindakan melawan dan membahayakan petugas tersebut. Keterangan saksi non-polisi atau keluarga yang bertolak belakang, tak pernah digubris.
Begitulah, selama ini informasi seputar penangaan terorisme hanya berasal dari satu sumber: Polisi. Tak pernah ada opini dan data pembanding. Kenyataan ini semakin menambah kuat perlunya evaluasi kinerja kegiatan anti-teror yang dilakukan Densus 88. Sebab, sudah terlalu banyak yang telah dikorbankan untuk korps ini; dari dana anggaran triliunan rupiah, hingga ratusan nyawa yang belum tentu bersalah.
Post A Comment:
0 comments: