Pertanyaan penting yang harus kita tanyakan pada diri kita sendiri, sebagai hamba Allah yang dikaruniai pikiran untuk menelaah segala sesuatu.
Syi’ah Rafidhah banyak menuduh Abu Bakar membenci dan sengaja membuat Fatimah marah dan barang siapa membencinya berarti membenci Rasul SAW.
Diriwayatkan dari Bukhari dan Muslim dari hadist Al-Miswar bin Makhramah berkata: “Sesungguhnya Ali telah melamar putri Abu Jahal, Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul SAW, berkatalah Fatimah: “Kaummu menyangka bahwa engkau tidak pernah marah membela anak putrimu dan sekarang Ali akan menikahi putri Abu Jahal,” maka berdirilah Rasulullah SAW mendengar kesaksiannya dan berkata: “Setelah selesai menikahkan beritahu saya, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang menyakitinya. Demi Allah, putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam pangkuan seorang laki-laki.” Maka kemudian Ali tidak jadi melamar putri Abu Jahal (khitbah itu).” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Fadhailu Shahabat).
Riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata: “Fatimah bagian diriku, barang siapa memarahinya berarti memarahiku.” (HR. Al-Bukhari, Fadhailu Shahabat, Fathul Bari 7/78 H. 3714).
Maka tampak jelas bahwa yang pantas dipahami dari hadis tersebut adalah Ali melamar putri Abu Jahal dan membuat Fatimah marah. Dengan ini, bila hadist tersebut diterapkan pada setiap orang yang membenci Fatimah maka Ali adalah orang pertama yang termasuk menyakitinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata saat membantah keyakinan Rafidhah dalam permasalahan ini. Hadist ini disebabkan lamaran Ali terhadap putri Abu Jahal, penyebab yang masuk dalam sebuah lafadh itu menjadi pasti, dimana setiap lafadh yang berlaku pada suatu sebab tidak boleh dikeluarkan penyebabnya bahkan penyebab yang harus masuk. Disebutkan dalam sebuah hadist (apa yang meragukannya menjadikanku ragu dan yang menyakitkannya menyakitkanku).
Dan yang dapat dipahami dengan pasti adalah bahwa lamaran terhadap putri Abu Jahal adalah meragukan dan menyakitkan. Nabi SAW dalam hal ini merasa ragu dan menyakitkan. Apabila ini merupakan sebuah ancaman yang harus ditimpakan pada Ali bin Abi Thalib dan bila bukan ancaman yang harus ditimpakan pada pelakunya maka Abu Bakar lebih jauh dari ancaman dari pada Ali.
Diriwayatkan dari Fatimah Radhiyallahu ‘anha sesungguhnya ia setelah peristiwa itu rela terhadap Abu Bakar. Berdasarkan riwayat Baihaqi dengan sanad dari Sya’bi ia berkata: “Tatkala Fatimah sakit, Abu Bakar menengok dan meminta izin kepadanya, Ali berkata: “Wahai Fatimah ini, Abu Bakar minta izin.” Fatimah berkata: “Apakah kau setuju aku mengizinkan?”, Ali berkata: “Ya.” Maka Fatimah mengizinkan, maka Abu Bakar masuk dan Fatimah memaafkan Abu Bakar. Abu Bakar berkata: “Demi Allah saya tidak pernah meninggalkan harta, rumah, keluarga, kerabat kecuali semata-mata karena mencari ridha Allah, Rasul-Nya dan kalian keluarga Nabi.” (As-Sunan Al-Kubra, Lil Baihaqi, 6/301).
Ibnu Katsir berkata: “Ini suatu isnad yang kuat dan baik yang jelas Amir mendengarnya dari Ali atau dari seseorang yang mendengarnya dari Ali. (Al-Bidayah Wa An-Nihaayah, 5/252).
Dengan demikian terbantah sudah cacian Rafidhah terhadap Abu Bakar yang dikaitkan dengan marahnya Fatimah terhadapnya dan bila memang Fatimah marah pada awalnya namun kemudian sadar dan meninggal dalam keadaan memaafkan Abu Bakar.
Hal ini tidak berlawanan dengan apa yang tersebut dalam hadist Aisyah yang lalu. “Sesungguhnya ia marah pada Abu Bakar lalu didiamkan sampai akhir hayatnya” hal ini sebatas pengetahuan Aisyah Radhiyallahu ‘anha saja.
Sedang hadist riwayat Sya’bi menambah pengertian kita bahwa Abu Bakar menjenguk Fatimah dan berbicara dengan Abu Bakar serta memaafkan Abu Bakar: Aisyah dalam hal ini menafikan dan Asya’bi menetapkan.
Para ulama memahami bahwa ucapan yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menafikan, karena kemungkinan suatu ketetapan sudah bisa didapatkan tanpa memahami penafian terutama dalam masalah ini, yaitu kunjungan Abu Bakar terhadap Fatimah bukan suatu peristiwa yang besar dan didengar di masyarakat.
Apa yang telah para ulama ungkapkan tentang Fatimah adalah bahwa ia sama sekali tidak memboikot Abu Bakar. Rasul pun telah melarang kita memboikot seseorang lebih dari tiga hari. Sedang Fatimah tidak berbicara dengannya karena memang sedang tidak ada yang harus dibicarakan.
Al-Qurthubi berkata seputar penjelasan hadist Aisyah: “Sesungguhnya tidak bertemunya Fatimah dengan Abu Bakar karena kesibukannya dalam menerima cobaan yang menimpanya dan kala keberadaannya selalu di rumah, rawi menggambarkan sebagai memutuskan hubungan. Padahal Rasul sudah bersabda bahwa tidak diperbolehkan bagi orang Islam untuk memutuskan hubungan dengan saudaranya lebih dari tiga hari. Padahal Fatimah orang yang paling tahu apa yang dihalalkan dan diharamkan. Juga orang yang paling jauh dari perselisihan dengan Rasul.” (Hadist Al-Bukhari. Riwayat Abu Ayyub Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu, Lihat kitab: Fathul Bari, 10-492).
Dengan demikian tampaklah yang benar dalam masalah ini dan hancurlah kebatilan yang dituduhkan oleh Syi’ah Rafidhah, dan terjawab sudah apa yang dituduhkan oleh Rafidhah terhadap hubungan Fatimah dan Abu Bakar.
“WARISAN” DALAM AJARAN SYI’AH
Tertulis dalam kitab-kitab Syi’ah Rafidhah berkenaan masalah warisan, diantara catatan yang paling penting adalah bahwa para wanita itu tidak mendapatkan warisan rumah tinggal.
Berkatalah Muhammad bin Hasan dari Jafar bin Basyir dari Hasan dari Abi Murkholid dari Abdul Malik berkata: “Suatu hari Abu Jafar memperlihatkan tulisan Ali dalam tulisan/catatan: “Bahwa para kaum wanita itu tidak berhak medapatkan warisan rumah tinggal bila ditinggal mati oleh lelakinya (suaminya).” Abu Jafar berkata: “Demi Allah ini adalah tulisan tangan Ali…” (Biharul Anwar, jilid. 26, hal. 514).
Dari Ali dari ayahnya, dari Jamil dari kerabatnya dan Muhammad bin Muslim dari Abi Jafar berkata: “Wanita-wanita itu tidak dapat mewarisi sedikitpun dari tempat tingal di muka bumi ini.” (Al-Kaafi, juz. 7, hal. 128).
Pertanyaan untuk kaum Syi’ah:
Bagaimana Fatimah menuntut sesuatu yang diharamkan terhadap kaum wanita berdasarkan madzhab Syi’ah Rafidhah?
Kenapa Abu Bakar dituntut untuk melakukan hal yang diharamkan?
Kenapa Fatimah tidak mengikuti perintah Rasul setelah tuntutannya terhadap warisan?
Apakah Fatimah keliru, wahai Rafidhah???
Syi’ah berkata bahwa Abu Bakar telah menyelisihi ayat yang tertera dalam surat An-Nisa’. Dan membuat argumentasi dengan ayat lainnya dan ayat tentang doa Zakariya terhadap Allah agar memberikan warisan.
Jawabannya adalah: Bahwa ayat tersebut tidak untuk umum seperti kisah Sulaiman – Zakariya yang tidak berkaitan dengan kepentingan harta benda. Namun orang-orang Syi’ah memahami secara umum tanpa menghiraukan pengecualian dan pengkhususan. Kemudian mereka mencaci maki Abu Bakar yang tidak memberikan warisan pada Fatimah Az-Zahra dari harta peninggalan Nabi. Karena menurut Syi’ah: Fatimah pernah berkata: “Wahai anak Abi Quhafah, engkau telah mewarisi dari ayahmu sedang saya tidak mendapat warisan dari ayahku.”
Riwayat ini tidak Mutawatir bahkan Ahad, maka tidak boleh men-takhsis ayat Al-Qur’an dengan hadits Ahad dengan sebuah petunjuk/dasar bahwa Umar bin Khattab menolak berita Fatimah binti Qois bahwa ayahnya tidak memberi rumah dan nafkah.
Berbeda dengan firman Allah tentang kisah Nabi Zakaria ‘Alaihis salam agar Allah memberikan warisan kepadanya dan keluarga Ya’qub ‘Alaihis salam. Hal ini amat jelas bahwa para Nabi itu mewarisi dan mewariskan.
Jawabannya: Bahwa hadits ini telah diriwayatkan oleh Khudzaifah bin Al-Yaman, Zubair bin Awam, Abu Darda’, Abu Hurairah, Al-Abbas, Ali, Ustman, Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Abi Waqas.
Telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Malik bin Aus bin Al-Hadatsan bahwa Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu berkata di depan para sahabat dimana di sana ada Ali, Abbas, Ustman, Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin Awam dan Sa’ad bin Abi Waqas: “Saya bersumpah, demi Allah yang dengan izinnya terwujudlah langit dan bumi, tahukah kalian bahwa Rasulullah SAW berkata: “Kami tidak mewariskan yang kami tinggalkan sebagai sedekah?” Mereka menjawab: “Benar,” kemudian Umar menghadap ke arah Ali dan Abbas dan berkata: “Saya bersaksi kepada Allah, tahukah kalian bahwa Rasul pernah berkata begitu?”, lalu keduanya menjawab: “Ya.”
Adapun suatu ucapan bahwa riwayat itu tidak ada yang tahu kecuali Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu. Ternyata riwayat di atas justru ada dalam kitab Syi’ah, diriwayatkan Al-Kulaini dalam kitab Al-Kaafi dari Al-Bukthtari dari Abi Abdillah Jafar As-Shadiq Radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya ia berkata: “Sesungguhnya ulama itu pewaris para Nabi dan para Nabi tidak mewariskan dirham atau dinar, melainkan mewariskan beberapa hadist, barang siapa telah mengambil sebagiannya berarti telah mengambil bagian yang sempurna.”
Warisan yang benar adalah warisan ilmu dan kenabian dan kesempurnaan kepribadian, bukan mewariskan harta benda dan uang.
Termasuk ajaran Syi’ah yang masuk dalam pembahasan disini adalah bila Nabi tidak mewariskan sesuatu kepada seseorang, kenapa istri-istrinya yang suci mewarisi tempat tidurnya?
Jawabannya: Semua itu salah, karena mengkhususkan tempat tidur kepada para suami itu semata-mata memang hak milik mereka bukan karena adanya semacam warisan, memang Nabi juga telah membuat dua kamar, satu untuk Fatimah dan satu untuk Usamah dan menyerahkannya dan sesuatu yang telah diberikan dari Nabi maka mereka berhak berbuat apa saja, karena benda itu sudah menjadi miliknya. [hakekat/syiahindonesia.com].
Post A Comment:
0 comments: